Cerpen - Tiada yang Sia-Sia


Tiada yang Sia-Sia
Kehidupan memang tak bisa ditebak. Apa yang akan terjadi di masa yang akan datang tak semuanya seperti yang kita inginkan. Kadang mengecewakan dan kadang mengharukan. Namun itu semua tergantung bagaimana kita mensyukuri keaadan kita.
 Kejadian itu bermula saat aku memutuskan untuk kuliah di Universitas Riau, Pekanbaru. Dari ketiga pilihan yang kutentukan pada saat SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), aku hanya lolos pada pilihan ketiga. Saat ujian aku mengambil golongan IPC, gabungan antara IPA dan IPS.  Untuk golongan IPC diperbolehkan untuk mengambil 3 pilihan sekaligus sementara IPA dan IPS hanya 2 pilihan saja. Aku harus menerima takdir yang mengantarkanku ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kini aku hanya bisa bersyukur dengan apa yang terjadi. Yang paling menyedihkan adalah ketika aku harus kuliah di tempat yang belum pernah sama sekali ku kunjungi. Keluargapun bukanlah keluarga yang dekat. Mereka adalah keturunan oppungku yang bungsu. Adapun kami keturunan dari oppung sulung. Aku biasanya memanggil mereka Inanguda dan Amanguda. Belum pernah sebelumnya kami berkomunikasi. Jumpa pun tidak pernah sama sekali. Untuk beberapa hari kami tinggal di rumah Nanguda sampai aku menemukan kosant.
Aku bukanlah orang yang bisa mandiri. Aku sudah terbiasa dengan bimbingan orangtua. Aku tidak pernah tinggal sampai seminggu di rumah sanak saudara. Itulah bukti bahwa aku tak bisa lepas dari orangtua dan keluargaku. Aku bukan orang yang bijak dalam setiap mengelola keuangan. Tapi kini setelah jauh dari orangtua aku harus memikirkannya. Aku bukan orang yang pintar memasak dan mencuci pakaian dengan baik. Tapi aku harus memaksakan diriku. Untuk beberapa hari pada awal-awal aku berada jauh dari orangtua, aku sering menangis dan memendam penyesalan. Pada bulan agustus aku baru menemukan kosan yang dekat dengan kampus. Di situ semua orang bersuku batak dan beragama Kristen. Pikirku, aku tak akan susah-susah untuk beradaptasi lagi dengan mereka. Mereka tak banyak berbeda denganku. Aku tak merasa sendiri lagi.
Pada tanggal 8 September 2011 aku dan mahasiswa-mahasiswa lainnya mengikuti kegiatan PKA di Kampus. Kegiatann ini dilakukan untuk pengenalan kegiatan akademis yang ada di kampus. Di saat inilah aku menemukan beberapa teman yang satu suku denganku. Belum ada yang istimewa pada masa itu. Semua tampak biasa saja. Kemudian berlanjut ke hari berikutnya kami mengikuti kegiatan BAKSO. Ini merupakan kegiatan dimana mahasiswa menunjukkan bakat apa yang ia miliki. Ada yang menari, ada yang menyanyi ada yang berpuisi dan lain sebagainya. Aku masih seperti saat tamat dari SMA.
Lebih banyak berdiam diri dan menyaksikan saja dibanding harus berdiri di depan semua mahasiswa dan dosen yang hadir. Itu hanya akan mempermalukanku, pikirku dalam hati. Aku bukan orang yang memiliki kepercayan diri yang tinggi.
Tiba saat mahasiswa PSPBSI berkumpul di kampus bersama. Ini merupakan hari pertama aku dan teman-teman satu program studi bertemu dalam satu ruangan. Aku masih tampak kaku dengan suasana baru yang kutemui. Ku lihat sekitarku berbeda sekali dengan saat-saat aku SMA. Kini semua baju berwarna-warni tak menggunakan putih abu-abu lagi. Hampir semua wanita menggunakan kerudung tak seperti masa-masa SMA. Aku sedikit terkejut mendapati hal tersebut. Dan untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Jenti Sitohang, teman yang ternyata satu kota denganku. Kami berkenalan dan berbincang-bincang. Perasaan yang sama masih muncul. Aku rasa jenti juga orang yang kaku hingga aku pun sangat sulit untuk memulai perbincangan yang dapat mencairkan suasana. Tapi mungkin seiring berjalannya waktu kami bisa semakin akrab. Itu pikirku.
Hari itu kami masih dibimbing oleh senior angkatan 2010 terkhusus Pengurus HIMA PSPBSI. Mereka memberikan pengarahan seputar dunia kampus. Dan melibatkan kami dengan beberapa perlombaan yang cukup menyita perhatian kami. Saat itu salah seorang senior kami membuat lomba gerakan tangan menangkap tangan teman yang bergerak lambat. Posisinya, tangan orang sebelah kiri diletakkan di bawah tangan orang sebelah kanan. Sebelah kanan siap menangkap tangan yang ada di bawahnya saat mengenai tangannya. Hari itu memang bukan hari keberuntunganku. Tanganku tertangkap dan harus dihukum bersama teman-teman yang senasib denganku. Kami diperintahkan untuk membuat puisi berantai. Aturannya orang pertama menentukan topik puisi dan orang berikutnya melanjutkan bait puisi yang pertama. Begitu selanjutnya sampai selesai. Dari dulu memang aku bukan orang yang suka membuat puisi. Aku merasa membuat puisi itu lebih susah dibanding harus menyelesaikan soal aljabar matematika. Tiba saat aku melanjutkan puisi tersebut semua tertawa. Aku merasa sangat malu. Pada bait yang aku lanjutkan itu aku mencantumkan kata Terima Kasih padahal ada satu orang teman lagi yang harus melanjutkan bait puisi tersebut. seharusnya kata terima kasih itu terletak di akhir puisi. Aku merasa sangat malu dan kesal. Mukaku berubah seperti tomat yang siap untuk dipanen.
Hari berikutnya aku bertemu dengan salah seorang pengurus KMK (Kebaktian mahasiswa Kristen). Ia mendata namaku dan meminta nomor ponselku. Ia mengajakku untuk ikut kebaktian menyambut mahasiswa-mahasiswa baru di Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Aku lalu mengiyakan saja ajakan kakak tersebut. Tiba saat acara kebaktian ibadah menyambut  mahasiswa-mahasiswa baru tersebut dimulai aku dengan hikmat mengikutinya.
Di sini aku merasa sangat senang bisa berkumpul dengan orang-orang yang seiman denganku. Aku merasa cukup cepat untuk bergaul dengan mereka. Dari sana kami diajak untuk bergabung dalam suatu organisasi Kristen. Aku sangat senang hati masuk ke sana. Kami yang ikut lalu dibina dalam beberapa kelompok kecil. Di sinilah perjalananku dimulai. Di sinilah aku baru mendapatkan pencerahan. Aku dapat menerima keadaanku sekarang. Dan aku mampu menerima kemajemukan dan perbedaan antara aku dengan teman-teman satu kampus denganku.
Semakin lama dibina dalam kelompok kecil, aku semakin mengenal kedewasaan itu. Pemimpin kelompokku pun mulai mengajariku bagaimana menjadi seorang yang mandiri. Aku merasa ia menjadi ibu kedua bagiku. Yang mengerti aku dan selalu mengkhawatirkan aku. Ia selalu menanya bagaimana kondisiku. Apa aku sudah makan atau tidak. Bagaimana studiku dan bagaimana dengan keadaan keluargaku.
Pada semester pertama aku mendapat IP yang lumayan. Tak mengecewakan rasanya. Dan sejauh itu aku belum menemukan kendala yang berarti yang mampu menghalangi studiku. Aku bersyukur di balik penyesalan yang aku pendam selama ini aku masih diberikan penghiburan. Sebelumnya aku selalu bertanya-tanya di dalam hati mengapa Tuhan menempatkan aku di Pekanbaru. Aku harus berada jauh dengan keluarga dan mengadu nasib di negeri yang tak ku tahu. Namun seiring berjalannya waktu aku menyadari bahwa Tuhan utus aku ke Pekanbaru untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Kini aku telah menjadi salah satu pengurus di KMK FKIP. Semakin banyak saja pelajaran yang aku temukan. Bahkan bagaimana menjadi mahasiswa yang aktif pun aku temukan dari karakter-karakter pengurus yang ada di KMK FKIP. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang berprestasi. Orang batak memang terkenal dengan tekadnya yang serius dan pekerja keras. Jika penampilan memang perlu namun yang terutama adalah otak dan kemampuan.
Ternyata teguhnya perjuangan hidup akan menghasilkan buah yang manis. Ketika kita memandang kesulitan sebagai suatu hikmat untuk berjuang dalam menghadapi cobaan itu semua akan dapat dilalui. Walau perjuangan hidupku belum tuntas sampai di sini, namun aku yakin dan percaya selama aku berusaha tiada yang akan sia-sia.

Zarmika Sitinjak
1105113753

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Pencitraan Puisi Balada - Zarmika Sitinjak

Essai Karakter - Integritas Mahasiswa

Kritik Sastra - puisi